1. Jelaskan tahap pengembangan Moral Lawrence Kohlberg !
Dalam
penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap yang diperoleh
dengan mengubah tiga tahap Piaget /Dewey dan menjadikannya tiga tingkat yang
masing – masing dibagi lagi atas 2 tahap. Ketiga tingkat tersebut
antara lain :
Keenam tahapan
perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan:
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan
yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu
fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak
dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif
yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi
dibanding tahap sebelumnya.[10][11]
1. Tingkat 1
(Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?) Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan) Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
2. Pra-Konvensional
Tingkat
pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang
berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua
tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk
egosentris.
Dalam tahap
pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung
dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan
dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras
hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.[12] Sebagai
tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati
posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan
apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan
akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada
oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik.
Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional,
berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan
untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
3. Konvensional
Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari
tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap
tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu
mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal
tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut,karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang
lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
Dalam tahap
empat, adalah penting untuk mematuhi hukum,
keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari
masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar
dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,
maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan
dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
4. Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca
konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap
lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat
dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan
dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya,
tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat
keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan
yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap
enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan
prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan
komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting
untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris
dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat
imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang
juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of
ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg
yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
2. Apa
yang menentukan tingkatan intensitas masalah etika ?
Ada 4
tingkatan intensitas mengenai etika, yaitu :
1. Etika atau
moral pribadi, Memberikan
teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor
antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan
pengalaman masa lalu.
2. Etika profesi, Serangkaian norma atau aturan yang menuntun
perilaku kalangan profesi tertentu.
3. Etika
organisasi, Serangkaian
aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku
dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
4. Etika sosial, Norma-norma
yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat
selalu terjaga atau terpelihara.
3. Jelaskan
jenis – jenis penyimpangan di tempat kerja !
Penyimpangan di tempat kerja
adalah perilaku tidak etis yang melanggar norma-norma organisasi mengenai benar
atau salah. Terdapat 4 jenis penyimpangan di tempat kerja, antara lain:a. Penyimpangan produksi
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.
b. Penyimpangan hak milik.
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
c. Penyimpangan politik
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
d. Penyerangan pribadi
Merupakan sikap bermusuhan atau perilaku menyerang terhadap orang lain. Seperti: pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri dari rekan kerja, mengancam rekan kerja secara pribadi.
Sumber :
http://blog.stie-mce.ac.id/rina/2011/11/14/etika-manajerial/
http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
http://gunadarma.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar